Masinton Pasaribu: Penulisan Ulang Sejarah Harus Jadi Sarana Rekonsiliasi Bangsa
- account_circle Phinisice
- calendar_month 11 jam yang lalu
- visibility 15

image (ANTARA/Melalusa Susthira K.)
Jakarta — Aktivis Reformasi 1998, Masinton Pasaribu, menyampaikan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia perlu dimaknai sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional. Menurutnya, sejarah tak boleh dihapus, melainkan harus diluruskan agar dapat mencerminkan kebenaran secara utuh.
“Tidak boleh ada bagian dari sejarah yang dihilangkan. Justru penulisan ulang ini harus menjadi momentum untuk meluruskan sejarah dan merekatkan kembali semangat kebangsaan,” ujar Masinton usai menghadiri Sarasehan Aktivis Lintas Generasi dalam rangka memperingati Reformasi 1998 di Jakarta, Rabu (21/5/2025). Acara tersebut mengangkat tema “Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi.”
Masinton menegaskan bahwa sejarah kerap kali ditulis dari perspektif pihak yang berkuasa, sehingga cenderung bersifat subjektif. Oleh karena itu, pelurusan sejarah dinilai penting agar narasi-narasi masa lalu dapat ditempatkan dalam konteks yang adil dan objektif.
“Penulisan ulang sejarah perlu diletakkan dalam kerangka merah putih—kerangka keindonesiaan. Tujuannya adalah untuk mengembalikan sejarah kita ke jalur yang benar, terutama menyangkut peristiwa-peristiwa penting bangsa,” katanya.
Ia mencontohkan beberapa peristiwa sejarah seperti tahun 1948, 1966, dan 1967, yang menurutnya masih menyimpan banyak versi dan membutuhkan klarifikasi melalui proses penulisan ulang yang berimbang dan jujur.
“Rekonstruksi sejarah itu harus dilakukan untuk menyatukan pandangan bangsa, bukan justru memperuncing perbedaan. Itulah yang kami maksud dengan pelurusan sejarah sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional,” tambahnya.
Menanggapi kontroversi seputar rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, Masinton mengimbau agar rencana tersebut dihentikan. Ia menilai pemberian gelar tersebut berpotensi menyinggung perjuangan para aktivis Reformasi 1998 yang kala itu menuntut berakhirnya rezim Orde Baru.
“Saya kira sebaiknya rencana pemberian gelar itu tidak dilanjutkan. Karena kalau benar dilakukan, lalu bagaimana dengan para pejuang reformasi yang menggulingkan pemerintahan saat itu? Apakah perjuangan mereka menjadi sia-sia?” tuturnya.
Masinton juga mengajak sesama aktivis reformasi untuk merenungkan dampak simbolis dari rencana tersebut terhadap semangat dan nilai perjuangan yang mereka usung kala itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain Ikuti saluran PHINISICE.ID di [ WhatsApp ]